Minggu, 03 Januari 2010

Problema Pendidikan Profesi Guru*
*Refleksi terhadap proyek baru pemerintah...
Oleh Agus Supardi*
“UU guru dan dosen tidak memberikan adanya pembedaan antara S1 keguruan kependidikan dan S1 umum (non kependidikan). Lalu apa gunanya FKIP?”(http://komunitasmahasiswabersuara.blogspot.com)
Belum lagi masalah sertifikasi pendidikan tuntas terselesaikan, kini pemerintah menyiapkan program baru, yaitu pendidikan profesi guru. Dana triliunan rupiah sudah disiapkan untuk menyelenggarakan pendidikan bagi kandidat guru, yang berasal dari berbagai disiplin ilmu.
Skenarionya, para sarjana itu dipersilakan menempuh pendidikan profesi guru selama enam bulan agar dapat menjadi guru mata pelajaran di SMP, SMA, atau SMK. Mereka yang ingin menjadi guru TK dan SD bahkan diwajibkan menempuh pendidikan profesi selama satu tahun, itu pun input-nya harus dari sarjana pendidikan TK atau SD. Rencana penyelenggaraan profesi guru muncul setelah diberlakukan UU Guru dan Dosen. Jadi, bisa dikatakan penyelenggaraan pendidikan profesi guru merupakan implikasi UU Guru dan Dosen.
Keberadaan Pendidikan Profesi Guru menjadi tuntutan setelah UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mensyaratkan guru profesional harus memiliki sertifikat pendidik. Lazimnya seperti dilakukan pada bidang kedokteran, akuntan, atau lawyer, Pendidikan Profesi Guru dilakukan secara internship setelah melalui pendidikan akademik. Pendidikan profesi berisi kegiatan praktik ”mencemplungkan diri” menerapkan kemampuan akademik dalam kegiatan profesi guru di sekolah disertai mekanisme penyeliaan yang sistematis dan dalam waktu memadai.
Pasal 1 butir (1) UU Guru dan Dosen menyebutkan, guru adalah pendidik profesional. Sementara butir (4) menyebutkan, yang dimaksud profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
“Pemerintah menyediakan tempat bagi 40.000 lulusan sarjana murni untuk mengikuti program pendidikan guru. Lama pendidikan profesi ini setengah tahun untuk guru SMP dan SMA dan setahun untuk guru TK dan SD (Kompas, 23/10/2008).”
Salah satu tujuan perekrutan guru dari sarjana murni adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan. Pertanyaannya, apakah program ini menjamin perbaikan mutu guru dan pendidikan di Indonesia?
Pendidikan profesi memang bertujuan bagus, yaitu untuk meningkatkan profesionalisme guru, tetapi mengapa lulusan dari sarjana pendidikan dan sarjana non pendidikan harus menempuh pendidikan profesi guru jika ingin menjadi guru, lalu apa gunanya dari FKIP diadakan jika harus ikut program profesi kalau ingin menjadi guru?
LPTK adalah lembaga yang mendidik calon-calon tenaga guru. LPTK ini kemudian mengeluarkan dua sertifikat, yaitu Ijazah dan Akta (untuk program S1 berupa ijazah sarjana dan akta IV). Dengan demikian, kalau seorang guru atau dosen yang telah memiliki ijazah sarjana (S1) dan Akta IV apalagi dia adalah alumni dari suatu LPTK, kemudian kepadanya diharuskan lagi memiliki sertifikat pendidik yang diperoleh melalui pendidikan profesi, apakah ini bukan suatu bentuk pelecehan baik terhadap guru dan dosen ataupun terhadap LTPK itu sendiri. Sehingga, kalau hal ini tetap dilakukan berarti sertifikat pendidik itu lebih tinggi kualitasnya/nilainya daripada ijazah Akta IV. Kalau demikian halnya untuk apa ijazah akta itu dikeluarkan oleh LPTK ? Bukankah LPTK itu sebenarnya adalah suatu lembaga profesi yang tujuan utamanya adalah mendidik calon-calon guru ? Bandingkan di luar negeri yang tidak mengenal LPTK (IKIP/FKIP). Apalagi kalau pendidikan profesi itu nantinya hanya diikuti oleh guru dan dosen dalam waktu singkat, misalnya paling lama satu bulan. Kemudian mereka diuji/diberikan tes dalam bentuk soal-soal pilihan ganda atau hanya mengukur aspek kognitif yang sifatnya instan (sesaat) lalu keluar keputusan bahwa kepadanya dinyatakan lulus dan diberi sertifikat pendidik. Kalau pelaksanaannya demikian, berati program sertifikasi itu lebih kental nuansa proyeknya dari pada urgensi dan subtansinya. Tidak menutup kemungkinan bahwa sertifikat pendidik itu nantinya hanya bersifat legalitas guna mendapatkan tunjangan profesi bagi guru dan dosen.
*Penulis ádalah Presidium Komunitas Mahasiswa Bersuara
Pengantar Sosiologi Perkotaan :
Mengupas Permasalahan Sosial di Perkotaan*)
abstrak
Kota merupakan pusat kehidupan yang dapat dilihat dari berbagai macam sudut pandang pendekatan. Aspek tersebut memberikan gambaran bahwa kota menjadi tempat manusia atau masyaakat berperilaku mengisi aktifitas kehidupannya sehari-hari. Dengan berperilaku manusia dapat dilihat melalui teropong sosiologi, atau dapat juga dilihat dari aspek fisik perkotaan yang akan memberikan kontribusi pada perilaku sosiologinya.
Kota adalah tempat tinggal warga manusia yang sudah seharusnya memberikan kenyamanan dan ketenangan hidup bagi penghuninya. Paling tidak, ini imej yang terbangun dalam benak individu yang mulai menyadari kebutuhannya akan suatu kota. Sayangnya, tidak banyak kota-kota di Indonesia yang memang aman, nyaman, dan enak ditinggali. Salah satu faktor yang membuat kota menjadi tempat hidup yang nyaman adalah ketika kota tersebut terbangun dan berkembang dalam lingkungan yang memiliki budaya penghormatan terhadap kebutuhan publik yang optimal.
Kota tanpa ruang public untuk sosial bagaikan kota mati. Tanpa ruang publik, warga kota akan menjadi masyarakat yang non konformitas, individualis, dan asosial. Warga kota tidak lagi mampu berinteraksi atau bekerjasama dengan pihak lain. Indikator utamanya, anak mudanya akan mengaktualisasikan diri secara ekstrem.

Pendahuluan
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang masyarakat dan bagai mana hubungannya dalam kehidupan manusia. seperti halnya timbal balik antara hubungan manusia satu dengan manusia yang lainnya. Sosial itu berasal dari kata socius yang artinya adalah teman, sedangkan logos adalah cerita. Pentingnya mempelajari sosiologi adalah untuk mengetahui bagaimana tingkah atau polah manusia dalam kehidupannya.
Sosiologi merupakan studi empiris dari struktur sosial (kemasyarakatan). Struktur sosial tidak sekedar hanya individu dan perilaku individu. Struktur sosial termasuk di dalamnya kelompok, pola sosial, organisasi, instruksi sosial, keseluruhan masyarakat, dan tentu saja perkotaan. Atau lebih jelasnya ilmu sosiologi adalah yang mengkaji atau menganalisis segi-segi kehidupan manusia bermasyarakat dalam kawasan kota atau perkotaan.
Sosiologi perkotaan dalam ilmu ketatakotaan boleh dibilang sudah lama berkembang di Indonesia, namun tidak banyak buku yang coba merumuskan masalah perkotaan secara mendalam. Mempelajari tata-kota semestinya mencakup kajian sosio-historis suatu bangsa. Dalam hal ini pengetahuan dan referensi yang luas akan membantu kita membuka wawasan terhadap kompleksitas masalah perkotaan dan lingkungan permukiman di Indonesia
Sosiologi Perkotaan
Urban sosiologi (sosiologi perkotaan) adalah merupakan sub-disiplin di dalam sosiologi difokuskan pada urban environment (lingkungan perkotaan). Menjelaskan beberapa topik-topik sebagai bagian dari perkembangan perkotaan, struktur perkotaan, jalan kehidupan dalam perkotaan, pemerintahan, dan permasalahan perkotaan. Karena penduduk yang tinggal di perkotaan akan dipengaruhi oleh kota. Untuk memahaminya kita harus mempelajari perkotaan. Berbagai permasalahan berhadapan masyarakat kita berhubungan pada lingkungan urban. Untuk memahami permasalahannya kita perlu mempelajari kota.
Menjelaskan dinamika perkotaan melalui penafsiran dan persepsi kota dimata penduduknya. Bagaimana penduduk sebuah kota memahami apa yang terjadi di kotanya sendiri? Bagaimana ia dipengaruhi oleh proses modernisasi atau keterbelakangan kotanya, bagaimana reaksinya? Menjadi kajian yang menarik dalam upaya memahami dinamika perkotaan. Tradisi pemahaman kota disebut sebagai ”Sosiologi Perkotaan Baru” yang dipelopori oleh Manuel Castells (1983). Dalam kajian tentang gerakan sosial kota, Castells menganalisis kota sebagai kreasi warga.
Fokus analisis dinamika perkotaan bukan pada ekologi perkotaan, melainkan penafsiran dan persepsi kota dimata penduduknya yang secara sosial telah mengkonstruksi kota tersebut lewat tindakan-tindakannya yang disertai oleh konsep-konsep dan penafsiran ini. Upaya ini mengandung upaya perspektif sejarah, dan memfokuskan pada gerakan sosial kota masa kini. Kota dibuat dan digeluti oleh penduduknya; tidak dalam bentuk kerjasama yang harmonis, melainkan melalui berbagai konflik antara pihak yang mendominasi dan mendesakkan pemahaman mereka tentang kota dan pihak yang mereka dominasi
Masyarakat perkotaan dan Kriteria Kota
Adalah suatu kelompok teritorial di mana penduduknya menyelenggarakan kegiatan-kegiatan hidup sepenuhnya. Dengan demikian, suatu community memiliki ciri-ciri:
1. berisi kelompok manusia;
2. menempati suatu wilayah geografis;
3. mengenal pembagian kerja ke dalam spesialisasi dengan fungsi yang saling tergantung;
4. memiliki kebudayaan dan sistem sosial bersama yang mengatur kegiatan mereka;
5. para anggotanya sadar akan kesatuan serta kewargaan mereka dari community; dan
6. mampu berbuat secara kolektif menurut cara tertentu.
Hal ini dapat diperjelas lagi bahwa community dapat dibagi menurut jenisnya menjadi empat jenis community: Rural; Fringe (pinggiran);Town; dan Metropolis.
Kota di dunia Barat masih terbagi atas jenis town dan city, dan masing-masing disebut coraknya menurut fungsi dominan, sehingga ada kota pertambangan, tangsi, pemerintahan, pendidikan, perdagangan, industri, turisme, dan sebagainya.
Kota dapat berupa town (kota kecil) dapat city (kota besar). Di Denmark, Swedia, Albania, dan Finlandia permukiman dengan 200 jiwa sudah disebut town; Di Argentina dan Kanada suatu tempat dengan 1.000 jiwa sudah disebut kota, sedangkan di Amerika Serikat, dan Meksiko 2.500 jiwa; Di Italia, Yunani, dan Spanyol untuk dapat digolongkan kota penduduknya paling sedikit 10.000 jiwa; dan Di Nederland dengan 20.000 jiwa, sedang di Indonesia menurut sensus 1971 juga 20.000 jiwa ditambah dengan beberapa syarat fasilitas lain.
Contoh lain yang dikemukakan oleh Wilcox, daerah dengan jumlah penduduk 100 jiwa disebut community; 100 hingga 1.000 jiwa disebut village, dan 1.000 jiwa ke atas disebut city.
Selama ini Indonesia lebih bertumpu pada ukuran jumlah penduduk untuk mengkategorikan skala kota. Jika penduduk satu kota berkisar 100.000 disebut kota kecil, kemudian jika penduduk berkisar 200.000-300.000 disebut kota sedang. Kota besar itu kalau jumlah penduduk antara 500.000 sampai satu juta orang serta kota metropolitan itu penduduknya lebih satu juta orang. (Hari Sabari Yunus, 2005)
Kota Metropolitan itu setidaknya dapat dilihat dari tersedianya sarana yang tertata rapi mencakup empat hal yakni wisma, karya, marga, dan suka. Wisma yaitu rumah-rumah di permukiman sudah tertata sehingga tidak ada lagi perkampungan kumuh. Kota adalah karya, di mana masyarakat gampang memperoleh pekerjaan dan lapangan kerja yang bisa diakses oleh semua lapisan masyarakat.
Ciri-ciri struktur sosial kota
Struktur sosial dari kota dapat dirinci atas beberapa gejala sebagai berikut:
(a) heterogenitas sosial, kepadatan penduduk mendorong terjadinya persaingan dalam pemanfaatan ruang;
(b) hubungan sekunder, jika hubungan antar penduduk di desa disebut primer, di kota disebut sekunder;
(c) kontrol (pengawasan), di kota orang tak mempedulikan perilaku pribadi sesamanya;
(d) toleransi sosial, orang-orang kota secara fisik berdekatan, tetapi secara sosial berjauhan;
(e) mobilitas sosial, di sini yang dimaksud adalah perubahan status sosial seseorang;
(f) ikatan sukarela, secara sukarela orang menggabungkan diri ke dalam perkumpulan yang disukainya;
(g) Individualisasi, merupakan akibat dari orang dapat memutuskan apa-apa secara pribadi, merencanakan kariernya tanpa desakan orang lain; dan
(h) segregasi keruangan, akibat dari kompetisi ruang terjadi pada pola sosial yang berdasarkan persebaran tempat tinggal atau sekaligus kegiatan sosial-ekonomis.
Sikap manusia terhadap kota
Dalam menilai kota terdapat polarisasi antara dua faham. Golongan lokalis (kolot), yakni para localis yang lebih berpangkal pada emosi, pengamatan pribadi, dan nostalgia. Mereka berpendapat bahwa yang ada tak usah dirubah, demi nilai sejarahnya. Golongan cosmopolitan, menghendaki perubahan drastis, yakni supaya wajah kota dirubah, sehingga lebih nampak corak modern dan internasional. Bagi localis ini berarti perlindungan terhadap yang ada. Sedangkan bagi cosmopolitan, itu berarti pemugaran yang disertai pertimbangan penggunaan ruang secara efektif dan kreatif.
Dalam filsafat mengenai kota dibicarakan pula faham mereka yang disebut “pembenci kota” dan “pencinta kota”. Para pembenci kota terdiri atas mereka yang putus asa dalam menghadapi kebobrokan kehidupan dalam kota. Kota mereka pandang sebagai sumber gejala kekerasan, pemabukan, penyakit jiwa, kejahatan, frustrasi, perceraian, dan sebagainya. Sehubungan dengan itu: Arsitek Frank Lloyd Wright, melukiskan manusia kota sebagai ternak atau kelompok semut yang berputar-putar bingung mencari lubangnya. Filsuf abad ke-19 Emerson, memperingatkan bahwa kota menjadikan manusia semakin cerewet dan keranjingan hiburan serta iseng. Tokoh pembenci kota dalam sejarahnya adalah Jenghis Khan, selama hidupnya merasa diancam oleh kota, dalam rangka meluaskan kerajaannya, kota-kota di Asia banyak yang dihancurkan dengan sewenang-wenang.
Dalam mengupas “pencinta kota”, F.L. Wright membagi manusia purba atas dua golongan: pertama, penghuni gua, ini seperti manusia kota sekarang; dan kedua, mereka yang berpindah-pindah, ini mirip petualang berasal dari pedesaan sekarang. Dengan adanya gejala urbanisasi yang melanda dunia sekarang ini para “pecinta kota” membela diri: kaum urbanis dengan sukarela meninggalkan desa karena mereka ingin terlepas dari cengkeraman kebodohan, dan sedikitnya kesempatan untuk maju. (Antariksa, 2009)
Berbagai Masalah sosial perkotaan
1. Ruang Publik
Kurangnya ruang bermain bagi anak di kota Semarang ini, dapat dilihat pada hari Minggu atau hari libur. Dimana setiap hari Minggu kawasan Simpang Lima sangat padat oleh lautan manusia yang berebut untuk mencari ruang bermain, berolahraga ataupun berbelanja. Anak anak terpaksa bermain di tempat bermain khusus dan tidak menggunakan tempat bermain di ruang terbuka yang merupakan sebuah ruang publik yang nyaman, karena memang tidak ada lagi ruang terbuka untuk bermain. Sering kita lihat banyak anak-anak bermain bola di jalanan beraspal, yang membahayakan nyawa mereka. Bahkan, kolam di Bundaran Tugu Muda dan Bubakan Semarang pun menjadi tempat bermain mereka. Lahan-lahan terbuka, tempat bermain, taman, dan ruang publik kota lainnya sudah lama secara perlahan berganti dengan gedung-gedung komersial.
Ruang terbuka di Semarang memang tidak pernah bertambah, bahkan yang ada pun berubah fungsi dan terjadi privatisasi di dalamnya. Seleksi untuk masuk di dalamnya harus dilalui lewat tiket pembayaran. Ruang publik ini sudah tidak sesuai dengan fungsi sebenarnya dimana ruang publik mampu diakses oleh semua golongan masyarakat. Berkurangnya ruang terbuka publik ini tidak saja merupakan persoalan pakar lingkungan, tetapi menjadi beban psikologis masyarakat kota akan kebutuhan ruang sosial sebagai aktualisasi diri.
Ketika bulan puasa, jalan Pahlawanpun akan berubah wajah di sore hari. Jalanan ini tiap sore menjadi ajang ”Ngabuburit” sebuah ritual yang sering dilakukan menjelang buka puasa. Bertebaran muda mudi yang menjajakan takjil dan makanan untuk buka puasa, seperti aneka kolak, koktail dan makanan siap makan yang bisa digunakan untuk buka puasa. Belum lagi terkadang juga ada acara live musik dengan mengusung konsep ”Ngabuburit Bareng” dengan grup musik terkemuka. Tidak jarang akan memacetkan lalu lintas di sepanjang jalan Pahlawan.
Ada wacana yang dilontarkan Gubernur Jateng untuk mensterilkan jalan Pahlawan. Padahal cukup sulit untuk membangkitkan kawasan menjadi hidup dan ramai, karena akan membutuhkan waktu dan energi. Akankah kita berangus kebebasan warga untuk mengekspresikan diri dengan berkumpul di sepanjang jalan ini. Kalau memang aktivitas yang selama ini ada di sepanjang jalan Pahlawan ini mengganggu, alangkah baiknya dilakukan penataan. Karena pada prinsipnya jalan Pahlawan beserta dengan trotoarnya, seharusnya dimanfaatkan secara optimal. Trotoar inipun termasuk sebagai ruang publik dan ruang sosial, sehingga siapa pun bisa mengakses.
Sekarang ini, banyak anak muda melewatkan malam minggu dengan berwisata di bundaran Tugumuda. Taman kota yang dahulu hanya dimanfaatkan anak-anak jalanan untuk tempat bermain itu kini menjadi lebih ramai. Dengan menikmati malam dan melewatkan waktu untuk sekedar nongkrong di bundaran Tugumuda, memang sedang menjadi tren anak muda Semarang saat ini. Mereka duduk-duduk di sekitar kolam, maupun di atas rerumputan. Sekarang, bundaran Tugumuda hampir selalu dipenuhi pengunjung, khususnya pada malam hari. Berbagai aktivitas dilakukan masyarakat di tempat tersebut. Mulai dari sekadar nongkrong, jalan-jalan, hingga berfoto ria di sekitar taman. Mereka ingin menikmati tempat terbuka di tengah kota, yang bisa untuk rekreasi tanpa dipungut biaya.
Awalnya taman Tugumuda memang dikembangkan sebagai taman pasif. Sehingga penampilan fisik kawasan tetenger kota itu pun berpagar dan tidak memiliki lahan parkir. Sehingga keberadaannya tidak hidup dan anti publik. Bahkan sampai sekarangpun ada papan bertuliskan dilarang memasuki taman dan menginjak rumput. Tumbuhan yang ditanampun masuk dalam kategori semak dan bunga. Taman kota ini di desain bukan menjadi ruang publik dan sekadar berfungsi sebagai alur perputaran lalu lintas.
Menurut Krier (1979) bentuk ruang publik kota terbagi atas dua kelompok, yaitu lapangan (square) dan jalan (street). Jalan Pahlawan ini merupakan ruang publik kota yang bersifat dinamis dengan bentuk linier dan berorientasi kedua ujungnya. Pengertian tersebut diatas memberikan pemahaman bahwa jalan (street) laksana kanal yang mengalirkan air dengan cepat, sementara square adalah danau yang menampung aliran air dari segala penjuru.
2. PKL (sektor Informal)
Persoalan utama setiap kota saat ini tidak bergeser jauh dari permasalahan penataan ruang publik dan pedagang kaki lima (PKL). Meskipun komunitas PKL seringkali menjadi dagangan politik yang aduhai saat kampanye, namun dalam tindak lanjut penanganannya, keberadaan PKL selalu memunculkan permasalahan baru. Jika dibiarkan, populasinya akan berkembang dan mengganggu kenyamanan publik, namun jika dilarang akan membawa ekses sosial berkepanjangan. Inilah wajah khas kota dari negeri yang sedang berbenah.
PKL selalu menempati areal-areal ruang publik, yang seharusnya memang murni untuk kepentingan publik. Di Semarang, kita bisa melihat, betapa sulitnya berjalan kaki di trotoar jalan Pandanaran. Selain trotoar yang sempit, keberadaan trotoar itupun masih diganggu keberadaan PKL. Belum lagi sejumlah jalan protokol lainnya, seperti jalan Mataram, dr Sutomo (Kalisari), atau bahkan yang tidak disediakan ruang bagi pejalan kaki, semacam di jalan Fatmawati, Tentara Pelajar, dan masih banyak lagi.
Sesungguhnya keberadaan ruang publik, seperti lapangan Pancasila Simpanglima, sangat mutlak dibutuhkan untuk menjadikan warga Semarang lebih humanis. Mengutip uraian Hannah Arendt, filsuf Jerman, sebuah kota hakekatnya adalah sebuah polis. Tempat bagi masyarakat mengidentifikasi, negosiasi, dan memecahkan masalah atau konflik yang muncul akibat rumitnya organisasi dan pembagian tugas dalam kota.
Yang terjadi saat ini, ketika ruang publik makin menciut, muncul tempat-tempat yang menjadi “seakan-akan ruang publik” (pseudo public space). Tempat-tempat seperti mal, kampus, taman kantor pemerintah, stadion, menjelma seakan-akan menjadi ruang publik. Tempat dimana warga Semarang bercengkerama, berpacaran, bahkan cekcok.
Pergeseran ini, sangat disadari oleh para pelaku bisnis, dimana mereka kemudian membangun tempat-tempat dengan menggunakan nama square, garden, dan masih banyak lagi. Bahkan ada yang mengklaim sebagai town square. Padahal tempat yang seolah-olah menjadi ruang publik ini, sangat dibatasi (pagar, satpam, jam operasi, dll). Kondisi ini diperburuk adanya pendudukan ruang publik oleh para PKL, misalnya Simpanglima di Sabtu-Minggu. Belum lagi anggapan warga kota bahwa tempat-tempat yang “seakan-akan” ruang publik, dianggap bisa menggantikan ruang publik.
Ketegasan Pemerintah Kota Semarang dalam melakukan pembatasan jam beroperasi bagi PKL di lapangan Pancasila Simpanglima, bisa diapresiasi sebagai bentuk pengendalian atas pendudukan ruang publik oleh PKL. Para PKL ini memiliki tujuan “konsumsi sebanyak-banyaknya” dengan mengatasnamakan kebutuhan hidup.
Namun jangan salah, para PKL berlaku demikian sebagai bentuk protes terhadap pemkot yang selalu menyediakan tempat bagi pemilik modal. Lihat saja pembangunan mal-mal di kawasan Peterongan, Thamrin, hingga pinggiran kota. Semua seperti disengaja untuk menciptakan warga kota yang konsumtif, manja, egois, dan asosial.
Singkat kata, keberadaan PKL di sejumlah ruang publik, memang tak seharusnya langsung diluluhlantakkan atas nama penegakan perda. Namun pemkot perlu lebih introspeksi, khususnya dalam pemberian ijin bagi pembangunan tempat-tempat semacam mal, yang notabene mematikan pola perdagangan tradisional. Untuk kemudian menyediakan tempat-tempat yang bisa berfungsi sebagai ruang publik. Dengan demikian, tak ada kata menggusur PKL dan memanjakan investor. Sebuah frasa yang sangat melukai rasa keadilan.
3.Gelandangan dan Pengemis
Saat kita berkendara di Kota Semarang dan sekitarnya akan sangat akrab dengan aktivitas para pengemis jalanan yang beroperasi di seputar "bangjo" (traffic light) maupun masjid. Aktivitas para pengemis jalanan ini biasanya dimulai tatkala lampu bangjo menunjukkan warna merah yang berarti pengendara berhenti untuk menunggu sinyal lampu hijau nyala. Para pengemis ini tidak jarang adalah anak-anak kecil, ibu-ibu plus balitanya, anak-anak paruh baya, dan manusia lanjut usia (manula).
Dengan segala daya upaya (wajah memelas dan baju lusuh), mereka berusaha mendapatkan simpati para pengguna jalan raya yang harapan mereka mendapat uang receh. Cara mengemis itu pun dilakukan bermacam gaya. Ada yang hanya langsung mengacungkan tangan, meminta. Ada juga dengan alat musik ecek-ecek dari tutup botol yang dirangkai dengan paku. Ada juga yang dengan menjual jasa membersihkan kaca mobil dengan kain superkumal.
Tujuannya satu, meminta sedekah mengais rezeki atau berkah dari orang-orang yang mengasihaninya dan memanfaatkan nilai sosial yang menyatakan bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.
Dengan modal dus bekas atau karung, mereka tidur di pelataran toko menunggu dibangunkan para donatur memberi mereka makanan. Keadaan ini tentunya merayu para donatur yang berkonvoi untuk memberikan mereka ala kadarnya, makanan, pakaian pantas pakai, atau makanan. Hal inilah yang sering digunakan oleh para pengemis musiman di kota Semarang untuk mengais keuntungan. Sehingga tak heran pula bila pemandangan malam hari di kota Semarang dipenuhi oleh para gelandangan dan pengemis di jalan-jalan utama. Alasan mereka rata-rata adalah keterbatasan ekonomi atau kemiskinan.
Hampir di setiap perempatan jalan pasti ada pengemis. Mereka berebut lahan. mulai dari perempatan jalan hingga masjid. Runyamnya, ada juga para pengemis dalam satu keluarga. Orangtua mereka cukup melihat dari sudut jalan yang lain. Anak-anak mereka yang berkarya.
Kenapa mereka mengemis? Apakah lapangan pekerjaan di Semarang begitu sempit sehingga rela mengemis di tengah terik matahari? Jawabannya satu yang pasti. Pendapatan dari mengemis lebih besar daripada bekerja di kantoran dan bidang jasa lainnya. Mungkin karena pendapatan mereka melebihi Upah Minimum Regional, maka mereka memang sengaja menekuni pekerjaan mengemis itu.
Mengurai Permasalahan Sosial
1. Ruang Publik
Kebutuhan akan ruang publik baru ini sebenarnya dapat mengurangi kepadatan Simpanglima, sehingga pemerintah kota perlu mendukung untuk menata kembali kawasan taman tugu muda menjadi ruang public yang aksesibel bagi semua. Dalam Catalysts in the Design of Cities, Wayne Attoe (1989) mengemukakan konsep tentang cara membangkitkan aktivitas ruang kota ''mati'', sehingga produktivitas kota dapat ditingkatkan kembali. Karakter yang berhubungan dengan aktivitas publik adalah kontinuitas waktu kegiatan, aksesbilitas, daya tampung terhadap jumlah masyarakat, sejarah perkembangan kawasan dan yang terpenting adalah mengakomodir aktivitas masyarakat tanpa membedakan kelas sosial dan status dengan batasan-batasan kemaslahatan umat manusia.
Seyogyanya pemerintah kota pro aktif untuk dapat mengakomodasi gerak warga kota sepenuhnya dalam perencanaan tata kota. Dengan mem”publik”kan taman taman kota maka akan menumbuhkan beberapa sudut kota sekaligus menjadi wisata ruang publik kota yang baru.
2. Memberdayakan PKL
Dari sudut pandang filsafat ekonomi, PKL adalah antitesis dominasi korporatisme global yang mendominasi seluruh sudut kota dengan jaringan pertokoan ritel. Sebagai antitesis, PKL adalah manifestasi perlawanan dari si kecil melawan si besar, yaitu perlawanan pemodal kecil kepada pemodal besar yang mampu membangun pusat pertokoan di berbagai lokasi strategis dengan biaya mahal.
Bagi konsumen, PKL adalah solusi pemenuhan kebutuhan di tengah harga-harga yang melambung tinggi. Konsumen dengan daya beli rendah akan cenderung memilih barang-barang dari PKL dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Tentu saja ada simbiosis mutualisme antara konsumen dan PKL. Dengan demikian, pemerintah sebagai pelayan masyarakat seharusnya tidak mengobrak-abrik PKL, tetapi memberdayakannya.
Dari sisi budaya, PKL adalah penyemarak kegairahan budaya, ekonomi, dan pariwisata suatu kota. Bukan sekadar penyemarak, PKL juga merupakan penanda atau ikon suatu perkumpulan, pesta, dan kerumunan massa. Lihat saja pasar tumpah di berbagai sudut kota pada hari Minggu, di mana banyak yang melakukan aktivitas pagi di pusat keramaian tertentu. Pusat keramaian harus dibina dan diberdayakan untuk menjadi duta pariwisata. PKL yang dilokalisasi di daerah tertentu, dengan keunikannya, akan bisa menjadi primadona pariwisata.
Edukasi dan pembinaan sebaiknya diarahkan juga pada upaya untuk menaikkelaskan PKL. Keberadaan koperasi dan lembaga keuangan penting agar PKL yang omzetnya ratusan ribu rupiah naik kelas menjadi ratusan juta rupiah. Berbagai pelatihan bidang administrasi dan akses ke perbankan harus dilakukan.
Konsistensi pemerintah daerah mutlak diperlukan. Pemerintah daerah harus melihat PKL sebagai aset ekonomi yang mampu menggerakkan ekonomi masyarakat lebih baik, bukan sebaliknya dipandang sebagai pengganggu ketertiban dan sumber retribusi semata. Pemerintah daerah harus mengatur PKL di lokasi yang strategis dan selama ini banyak pembeli tanpa mengganggu ketertiban. Komitmen itu harus dibangun kelompok PKL yang diorganisasi sehingga merekalah yang menjaga agar lokasi usahanya tetap tertib.
Selama ini PKL menolak pemindahan karena lokasi yang ditawarkan selalu bermasalah. Ini soal moralitas kepemimpinan. Pemerintah harus berpihak kepada PKL. Usia usaha PKL sama dengan usia keberadaban manusia yang mulai mengenal pasar sebagai pusat kegiatan ekonomi. Jadi, secara antropologis, PKL adalah kebudayaan ekonomi yang telah lama ada dan penting bagi kehidupan manusia. Jika demikian, yang penting adalah memberdayakan, bukan membubarkannya. Sebab, PKL pun harus makan serta punya anak dan istri yang tiada lain merupakan anak-anak bangsa yang harus hidup layak.
3. Gelandangan dan Pengemis
Untuk menanggulangi masalah tersebut, Pemkot Semarang melalui Perda menghimbau agar masyarakat luas tidak memberikan uang kepada para pengemis. Bahkan di beberapa daerah MUI setempat sudah mengeluarkan fatwa haram bagi pengemis. Diharapkan dengan cara itu, lambat laun jumlah anak jalanan dan pengemis akan berkurang. Jika ada saran untuk merazia mereka, masih ada rasa kasihan karena jelas kurang manusiawi. Tetapi para donatur yang keliling kota tidak memperhatikan hal ini. Mereka hanya ingin berbagi dengan mereka, bahkan kadang mereka mengabadikan kegiatan itu dengan kamera foto dan video. Para donatur merasa telah berbagi kepada pengemis.
Penanganan pengemis dan anak jalanan dapat dilakukan dengan pendampingan anak-anak. Lewat pendampingan berusaha mendidik para anak jalanan itu untuk mandiri, tidak menggantungkan diri pada belas-kasihan orang lain. Pendampingan ini sering dilakukan di rumah singgah oleh beberapa LSM yang peduli dengan geladangan pengemis dan anak jalanan.
Kesimpulan
Salah satu cara untuk mewadahi kegiatan sosial warganya, yang dibutuhkan adalah kebutuhan ruang bersosialisasi, berinteraksi antar warga. Salah satunya adalah kebutuhan akan ruang bersama atau ruang publik. Dalam rangka untuk menambah Ruang Terbuka, perlu diperhatikan beberapa hal. Pertama, untuk menghindari terjadinya penurunan jumlah dan luas taman, perlu adanya keputusan dan petunjuk teknis yang dapat memberikan kejelasan tentang jenis/klasifikasi taman, fungsi atau peruntukannya, pengaturan pengelolaan, serta sanksinya.
Kedua, Perlunya penyediaan fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum), termasuk taman di pemukiman baru yang diusahakan oleh pengembang. Keberadaan taman-taman di pemukiman baru tersebut, paling tidak dapat merededuksi jumlah taman yang harus dibangun oleh pemerintah.
Ketiga, Pemerintah hendaknya mengambil prakarsa dengan memberi dorongan, support, bonus, atau apa pun namanya, yang bertujuan memberi spirit bagi pengembang yang setia bersahabat dengan lingkungan. Atau pemerintah membuat regulasi untuk menindak pengembang yang merusak lingkungan, atau mengabaikan regulasi tentang lingkungan hidup.
Keempat, untuk meningkatkan jumlah dan luas ruang terbuka serta pelibatan tanggung jawab masyarakat dan stakeholder, perlu dikaji penerapan adanya insentif dan disinsentif yang berupa Green Tax pemanfaatan ruang terbuka di pemukiman (pekarangan rumah). Pajak tersebut selanjutnya dapat digunakan untuk memelihara dan membangun taman-taman baru.

Daftar Pustaka
Antariksa (2009) Pemahaman Tentang Sosio Antropologi Perkotaan, http://antariksa.blogspot.com diakses 18 Desember 2009
DK Halim(2008) Psikologi Lingkungan Perkotaan, Jakarta, Bumi Aksara
Hari Sabari Yunus (2005) Klasifikasi Kota, Yogyakarta, Pustaka Pelajar
Paulus Hariono (2007) Sosiologi Kota Untuk Arsitek, Jakarta, Bumi Aksara
Sukawi (2008) Semarang kota Metropolis Semu, Suara Merdeka, 16 Februari 2008
Sukawi (2009) Menata Potensi Jalan Pahlawan, Suara Merdeka, 20 Agustus 2009
Sukawi (2009) Mengoptimalkan Taman Tugu Muda, Suara Merdeka, 6 September 2009
Sugiono Soetomo( 2009), Urbanisasi dan Morfologi, Yogyakarta, Graha Ilmu
Tim Kompas (2006), Politik Kota dan Hak Warga Kota, Jakarta, Penerbit Buku Kompas
Mimbar Akademik sebagai alternatif membangunkan kembali Jiwa Mahasiswa
Oleh : Agus Supardi*

Salam perjuangan Mahasiswa....!!
Bebicara permasalahan bangsa pasti tidak akan terlepas dari peran kaum intelektual muda khususnya Mahasiswa. Kita semua tahu bahwa sejarah pergerakan sebuah bangsa selalu diawali dari pergerakan golongan muda entah itu di dalam negeri maupun diluar negeri. Karena memang golongan mudalah pioner dari sebuah pergerakan dan perubahan bangsa.
Apabila kita perhatikan keadaan kampus saat ini akan berbeda jauh dengan keadaan sebelum reformasi dulu. Keadaan kampus sekarang cenderung sepi dari budaya diskusi dan membaca, budaya pragmatis, hedonis yang berujung pada sebuah apatis dengan keadaan menjadi sebuah penyakit yang menghinggapi kebanyakan Mahasiswa saat ini, minat berorganisasi yang lemah akibat dari tekanan-tekanan NKK/BKK bentuk baru sehingga mahasiswa lebih asyik bermain game, komputer atau chattingan bahkan hanya sekedar ngobrol basa basi berdua-duaan dipojok-pojok kampus untuk menghabiskan waktu atau ruang kosong mereka.
Kampus sebagai sebuah miniatur negara yang memberikan kontribusi bagi perjuangan bangsa hendaknya diisi dengan budaya-budaya pendidikan agar kampus hidup dan bergerak darikelesuan ini, bukan hanya sekedar tempat untuk mencari kecerdasan akademik atau bahkan hanya dijadikan tempat untuk nongkrong pacaran semata. Kampus yang memiliki peran strategis bagi perkembangan dan perubahan bangsa hendaknya mulai berbenah diri agar kedepan kampus kembali menjadi gerbong pergerakan bangsa.
Melihat kondisi kampus saat ini perlu hendaknya dihidupkan kembali mimbar akademik sebagai sebuah wahana membangkitkan kembali daya kritis serta independensi dari mahasiswa. Mimbar akademik merupakan ruang-ruang bagi mahasiswa untuk bebas mengekpresikan potensi-potensi mereka melalui dikusi-diskusi diluar belenggu kokohnya tembok ruangan. Disini mahasiswa tidak terikat oleh SKS, Kurikulum dan kehadiran 75% yang selama ini menjadi metamorfosis NKK/BKK yang membelenggu mahasiswa dan memenjarakan mereka dalam pikiran mereka sendiri. Selain itu mimbar akademik merupakan sebuah cuonter hegemoni birokrat yang cenderung untuk mengekang dan mengharapkan mahasiswa yang hanya diam dan statis. Dosen atau birokrat kebanyakan saat ini menghendaki keadaan mahasiswa yang lebih menurut dan tidak suka macam-macam, dari pada mahasiswa yang suka nyleneh, banyak kritik dan cenderung untuk kritis terhadap keadaan situasi yang ada, itu semua terbukti dari perkuliahan-perkuliahan yang disampaikan para Dosen sedikit sekali yang menyampaikan kontektualisasi dari pelajaran yang mereka pelajari atau menyinggung keadaan bangsa saat ini. Oleh karena itu perlu kiranya kita bangun dan benahi kembali suprastruktur dari Kampus, bukan hanya infrastruktur semata.
Penulis adalah Mahasiswa FKIP Biologi Angkatan 2007
“Mahasiswa ?? Apakah hanya sebuah status quo atau memang menjadi pelanggeng status quo??”*
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa hasrat atau keinginan untuk berada di atas manusia lain sangat diidamkan oleh manusia untuk kemajuan dirinya sendiri. Selanjutnya harus juga diakui, untuk kebaikan jalannya sebuah urusan harus ditempatkan orang-orang yang berkuasa atau pemimpin di suatu masyarakat ataupun di dunia secara keseluruhan. Dengan kata lain, dunia harus tetap sebagai suatu tempat dimana di dalamnya tersedia kedudukan-kedudukan tinggi yang terbuka bagi semua.
Dewasa ini, dampak krisis multi-dimensional ini telah memperlihatkan tanda-tanda awal munculnya krisis kepercayaan diri (self-confidence) dan rasa hormat diri (self-esteem) sebagai bangsa. Krisis kepercayaan sebagai bangsa dapat berupa keraguan terhadap kemampuan diri sebagai bangsa untuk mengatasi persoalan-persoalan mendasar yang terus-menerus datang, seolah-olah tidak ada habis-habisnya mendera Indonesia. Aspirasi politik untuk merdeka di berbagai daerah, misalnya, adalah salah satu manifestasi wujud krisis kepercayaan diri sebagai satu bangsa, satu “nation”.
Apabila krisis politik dan krisis ekonomi sudah sampai pada krisis kepercayaan diri, maka eksistensi Indonesia sebagai bangsa (nation) sedang dipertaruhkan. Maka, sekarang ini adalah saat yang tepat untuk melakukan reevaluasi terhadap proses terbentuknya “nation and character building” kita selama ini, karena boleh jadi persoalan-persoalan yang kita hadapi saat ini berawal dari kesalahan dalam menghayati dan menerapkan konsep awal “kebangsaan” yang menjadi fondasi ke-Indonesia-an. Kesalahan inilah yang dapat menjerumuskan Indonesia, seperti yang ditakutkan Sukarno, “menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa.” Bahkan, mungkin yang lebih buruk lagi dari kekuatiran Sukarno, “menjadi bangsa pengemis dan pengemis di antara bangsa-bangsa”.
Mahasiswa adalah satu kelas tersendiri. Kelas yang dianggap bergengsi, penuh nuansa intelektual, dan hampir tidak pernah absen dalam setiap gejolak perubahan sosial yang terjadi di negaranya. Secara sosial ekonomi, mahasiswa tidak bekerja namun mempunyai penghasilan berupa uang saku dari orang tua atau sumber lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan mahasiswa saling berinteraksi dalam suasana egaliter, muda, dan intelek.
Suasana seperti itu mengantarkannya pada situasi bertumpuknya pertanyaan seputar ketidaksesuaian antara yang terdapat di buku dengan kenyataan di masyarakat hingga sebagai golongan politik, mahasiswa mengesankan sebagai kekuatan unjuk rasa. Diskusi-diskusi politik secara massal memperkuat gerakan mahasiswa. Potensi radikalisme dan oposisi terhadap pemerintah atau status quo selalu melekat pada mahasiswa, tidak terkecuali dalam tatanan politik yang bagaimanapun mereka berada, dari liberal hingga Islam atau tatanan komunis sekalipun.
Pemuda di hari ini adalah pemimpin dihari esok, maka sebagai mahasiswa harus mempersiapkan diri dari sekarang, tiada kata terlambat untuk belajar, idealisme akan menentukan realitas, saat idealisme mahasiwa sudah luntur maka sudah dapat dipastikan pemerintahan yang akan datang jauh lebih buruk dari saat ini. Mahasiswa sebagai pewaris tampuk pimpinan umat nanti harus mulai berbenah dari sekarang.
Kalau mau seribu cara dilakukan, kalu tidak mau seribu alasan dikeluarkan. Esok harus lebih baik dari pada hari ini. Abadi perjuangan..!!!!
*Penulis : IMMawan Abi
IMM Komisariat FKIP UMS 2007
Idealisme dan Independensi Mahasiswa Dimana?*
Oleh Agus Supardi (Abi’07)
Salam Perjuangan.......
Ketika kita semua melihat fenomena dari bulan lalu yaitu pada bulan Desember 2009, ada sebuah keanehan dalam Mahasiswa di Kampus ini. Kita semua tentunya melihat sebuah spanduk besar berisikan pernyataan sikap dari Mahasiswa disalah satu Fakultas di UMS ini yang dengan jelas-jelas menyatakan dukunganya kepada salah satu Calon Dekan yang sekarang sudah menjadi dekan tentunya. Kemudian disambung dengan pemberitaan salah satu media kampus yang menayangkan spanduk tersebut sebagai headline, selain itu tidak berbeda jauh dari hal tersebut ada beberapa fakultas yang pelantikan pengurus lembaganya masih dilantik oleh pimpinan fakultas.
Dari fenomena-fenomena diatas, dalam benak kita tentunya ada beberapa pertanyaan besar, Ada apakah sebenarnya antar calon yang didukung dengan Mahasiswa.? Apakah keuntunganya pada Mahasiswa.? Apakah itu semua dilakukan adalah salah satu strategi agar dipermudah dalam mengajukan skripsi.? Atau agar diberi dalam melakukan sebuah program kerja.? Atau memang ada sebuah konspirasi besar antar Mahasiswa dengan Birokrat.? Itu semua mungkin tidak akan terjawab, mungkin waktu yang akan menjawab.
Sepanjang sejarah pemilihan pimpinan Fakultas atau bahkan Rektor sekalipun belum pernah kita dengar sebuah pernyataan sikap dari Mahasiswa yang menyatakan dukunganya secara jelas kepada birokrat, karena kita tahu bahwa Mahasiswa sebagai intelektual muda yang syarat akan budaya akademik pastinya akan mengerti mana wilayahnya mahasiswa sebagai pengontrol kebijakan dan mahasiswa sebagai agent of change.
Secara rasional sebenarnya sudah jelas, ketika ada sebuah kesatuan antara penguasa dan rakyat, maka sebenarnya ada apa dibelakangan itu semua.? Hal-hal diatas adalah sedikit realita yang ada disalahsatu kampus yang ada diIndonesia ini, yang mungkin juga terjadi dikampus-kampus lain. Sehingga ada sebuah pertanyaan besar yang perlu kita pecahkan bersama, dimanakah idealisme dan independensi ide dari mahasiswa ketika dibenturkan dengan realita yang ada sekarang ini. Mari kita pecahkan bersama.
Penulis adalah Mahasiswa Biologi Semester 5, angkatan 2007.