Minggu, 03 Januari 2010

“Mahasiswa ?? Apakah hanya sebuah status quo atau memang menjadi pelanggeng status quo??”*
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa hasrat atau keinginan untuk berada di atas manusia lain sangat diidamkan oleh manusia untuk kemajuan dirinya sendiri. Selanjutnya harus juga diakui, untuk kebaikan jalannya sebuah urusan harus ditempatkan orang-orang yang berkuasa atau pemimpin di suatu masyarakat ataupun di dunia secara keseluruhan. Dengan kata lain, dunia harus tetap sebagai suatu tempat dimana di dalamnya tersedia kedudukan-kedudukan tinggi yang terbuka bagi semua.
Dewasa ini, dampak krisis multi-dimensional ini telah memperlihatkan tanda-tanda awal munculnya krisis kepercayaan diri (self-confidence) dan rasa hormat diri (self-esteem) sebagai bangsa. Krisis kepercayaan sebagai bangsa dapat berupa keraguan terhadap kemampuan diri sebagai bangsa untuk mengatasi persoalan-persoalan mendasar yang terus-menerus datang, seolah-olah tidak ada habis-habisnya mendera Indonesia. Aspirasi politik untuk merdeka di berbagai daerah, misalnya, adalah salah satu manifestasi wujud krisis kepercayaan diri sebagai satu bangsa, satu “nation”.
Apabila krisis politik dan krisis ekonomi sudah sampai pada krisis kepercayaan diri, maka eksistensi Indonesia sebagai bangsa (nation) sedang dipertaruhkan. Maka, sekarang ini adalah saat yang tepat untuk melakukan reevaluasi terhadap proses terbentuknya “nation and character building” kita selama ini, karena boleh jadi persoalan-persoalan yang kita hadapi saat ini berawal dari kesalahan dalam menghayati dan menerapkan konsep awal “kebangsaan” yang menjadi fondasi ke-Indonesia-an. Kesalahan inilah yang dapat menjerumuskan Indonesia, seperti yang ditakutkan Sukarno, “menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa.” Bahkan, mungkin yang lebih buruk lagi dari kekuatiran Sukarno, “menjadi bangsa pengemis dan pengemis di antara bangsa-bangsa”.
Mahasiswa adalah satu kelas tersendiri. Kelas yang dianggap bergengsi, penuh nuansa intelektual, dan hampir tidak pernah absen dalam setiap gejolak perubahan sosial yang terjadi di negaranya. Secara sosial ekonomi, mahasiswa tidak bekerja namun mempunyai penghasilan berupa uang saku dari orang tua atau sumber lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan mahasiswa saling berinteraksi dalam suasana egaliter, muda, dan intelek.
Suasana seperti itu mengantarkannya pada situasi bertumpuknya pertanyaan seputar ketidaksesuaian antara yang terdapat di buku dengan kenyataan di masyarakat hingga sebagai golongan politik, mahasiswa mengesankan sebagai kekuatan unjuk rasa. Diskusi-diskusi politik secara massal memperkuat gerakan mahasiswa. Potensi radikalisme dan oposisi terhadap pemerintah atau status quo selalu melekat pada mahasiswa, tidak terkecuali dalam tatanan politik yang bagaimanapun mereka berada, dari liberal hingga Islam atau tatanan komunis sekalipun.
Pemuda di hari ini adalah pemimpin dihari esok, maka sebagai mahasiswa harus mempersiapkan diri dari sekarang, tiada kata terlambat untuk belajar, idealisme akan menentukan realitas, saat idealisme mahasiwa sudah luntur maka sudah dapat dipastikan pemerintahan yang akan datang jauh lebih buruk dari saat ini. Mahasiswa sebagai pewaris tampuk pimpinan umat nanti harus mulai berbenah dari sekarang.
Kalau mau seribu cara dilakukan, kalu tidak mau seribu alasan dikeluarkan. Esok harus lebih baik dari pada hari ini. Abadi perjuangan..!!!!
*Penulis : IMMawan Abi
IMM Komisariat FKIP UMS 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar