Minggu, 03 Januari 2010

Problema Pendidikan Profesi Guru*
*Refleksi terhadap proyek baru pemerintah...
Oleh Agus Supardi*
“UU guru dan dosen tidak memberikan adanya pembedaan antara S1 keguruan kependidikan dan S1 umum (non kependidikan). Lalu apa gunanya FKIP?”(http://komunitasmahasiswabersuara.blogspot.com)
Belum lagi masalah sertifikasi pendidikan tuntas terselesaikan, kini pemerintah menyiapkan program baru, yaitu pendidikan profesi guru. Dana triliunan rupiah sudah disiapkan untuk menyelenggarakan pendidikan bagi kandidat guru, yang berasal dari berbagai disiplin ilmu.
Skenarionya, para sarjana itu dipersilakan menempuh pendidikan profesi guru selama enam bulan agar dapat menjadi guru mata pelajaran di SMP, SMA, atau SMK. Mereka yang ingin menjadi guru TK dan SD bahkan diwajibkan menempuh pendidikan profesi selama satu tahun, itu pun input-nya harus dari sarjana pendidikan TK atau SD. Rencana penyelenggaraan profesi guru muncul setelah diberlakukan UU Guru dan Dosen. Jadi, bisa dikatakan penyelenggaraan pendidikan profesi guru merupakan implikasi UU Guru dan Dosen.
Keberadaan Pendidikan Profesi Guru menjadi tuntutan setelah UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mensyaratkan guru profesional harus memiliki sertifikat pendidik. Lazimnya seperti dilakukan pada bidang kedokteran, akuntan, atau lawyer, Pendidikan Profesi Guru dilakukan secara internship setelah melalui pendidikan akademik. Pendidikan profesi berisi kegiatan praktik ”mencemplungkan diri” menerapkan kemampuan akademik dalam kegiatan profesi guru di sekolah disertai mekanisme penyeliaan yang sistematis dan dalam waktu memadai.
Pasal 1 butir (1) UU Guru dan Dosen menyebutkan, guru adalah pendidik profesional. Sementara butir (4) menyebutkan, yang dimaksud profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
“Pemerintah menyediakan tempat bagi 40.000 lulusan sarjana murni untuk mengikuti program pendidikan guru. Lama pendidikan profesi ini setengah tahun untuk guru SMP dan SMA dan setahun untuk guru TK dan SD (Kompas, 23/10/2008).”
Salah satu tujuan perekrutan guru dari sarjana murni adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan. Pertanyaannya, apakah program ini menjamin perbaikan mutu guru dan pendidikan di Indonesia?
Pendidikan profesi memang bertujuan bagus, yaitu untuk meningkatkan profesionalisme guru, tetapi mengapa lulusan dari sarjana pendidikan dan sarjana non pendidikan harus menempuh pendidikan profesi guru jika ingin menjadi guru, lalu apa gunanya dari FKIP diadakan jika harus ikut program profesi kalau ingin menjadi guru?
LPTK adalah lembaga yang mendidik calon-calon tenaga guru. LPTK ini kemudian mengeluarkan dua sertifikat, yaitu Ijazah dan Akta (untuk program S1 berupa ijazah sarjana dan akta IV). Dengan demikian, kalau seorang guru atau dosen yang telah memiliki ijazah sarjana (S1) dan Akta IV apalagi dia adalah alumni dari suatu LPTK, kemudian kepadanya diharuskan lagi memiliki sertifikat pendidik yang diperoleh melalui pendidikan profesi, apakah ini bukan suatu bentuk pelecehan baik terhadap guru dan dosen ataupun terhadap LTPK itu sendiri. Sehingga, kalau hal ini tetap dilakukan berarti sertifikat pendidik itu lebih tinggi kualitasnya/nilainya daripada ijazah Akta IV. Kalau demikian halnya untuk apa ijazah akta itu dikeluarkan oleh LPTK ? Bukankah LPTK itu sebenarnya adalah suatu lembaga profesi yang tujuan utamanya adalah mendidik calon-calon guru ? Bandingkan di luar negeri yang tidak mengenal LPTK (IKIP/FKIP). Apalagi kalau pendidikan profesi itu nantinya hanya diikuti oleh guru dan dosen dalam waktu singkat, misalnya paling lama satu bulan. Kemudian mereka diuji/diberikan tes dalam bentuk soal-soal pilihan ganda atau hanya mengukur aspek kognitif yang sifatnya instan (sesaat) lalu keluar keputusan bahwa kepadanya dinyatakan lulus dan diberi sertifikat pendidik. Kalau pelaksanaannya demikian, berati program sertifikasi itu lebih kental nuansa proyeknya dari pada urgensi dan subtansinya. Tidak menutup kemungkinan bahwa sertifikat pendidik itu nantinya hanya bersifat legalitas guna mendapatkan tunjangan profesi bagi guru dan dosen.
*Penulis ádalah Presidium Komunitas Mahasiswa Bersuara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar